Monday, January 11, 2016

Pelajaran Gizi di Sekolah Jepang




Di Jepang para murid disediakan makan siang di Sekolah dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah. Tidak disediakan kantin dan tidak dibenarkan untuk jajan sembarangan diluar. Budaya makan disekolah ini sudah dimulai sejak pasca perang dunia ke dua dan berlanjut hingga saat ini. 



Walau anak saya full membawa bentou dari rumah, karena faktor kehalalan. Saya juga mendapat banyak pelajaran mengenai kebiasaan positif ini. Dimulai dari wawancara setiap orang tua mengenai makanan yang bisa memicu alergi atau tidak bisa dimakan oleh anak karena alasan lain, kemudian penjelasan mengenai cara masak, menu yang variatif dan penyediaan susu tiap hari.



Untuk TK biasanya pengadaan makanan berupa bento dengan menggunakan wadah makan lucu. Untuk pengadaan bentou ini sekolah bekerja sama dengan perusahaan yang khusus menyediakan katering bento anak TK. bisa dilihat di sini


Sedangkan SD hingga SMP dan sebagian SMA pengadaan makanan dilakukan disekolah masing-masing, dengan panduan guru ahli gizi dan bantuan beberapa tukang masak profesional. Ketika menyusun menu, ahli gizi ini sangat memerhatikan nilai dan komposisi gizi, serta menyeimbangkan pemberian nasi/tepung/kentang, ikan dan sayur-sayuran serta buah, agar anak-anak pada usia pertumbuhan mendapat asupan nutrisi yang optimal. Menu makan siang harus memenuhi 1/3 kebutuhan nutrisi harian anak, yaitu sekitar 430-450 kilokalori untuk bento TK, 600-700 kilokalori untuk anak SD. Menu harian ini juga diharapkan mencakup 1/2 kebutuhan kalsium dan dan 33-40% kebutuhan vitamin dan mineral harian. Kecukupan kalsium menjadi perhatian khusus, sebab ada kecenderungan kurang asupan kalsium di kalangan anak-anak. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan kalsium, sekotak susu hampir selalu dimasukkan ke dalam menu makan siang di sekolah. 



Berikut 6 panduan menyusun menu makan siang anak di Sekolah Jepang 





1. Harus bervariasi. Jenis hidangan berganti-ganti setiap hari, agar anak mendapat pengalaman makan yang bermacam-macam, tidak bosan dan mendapat nutrisi lengkap. Menu makan siang juga memasukkan sayur dan buah-buah yang sedang musim saat itu.

2. Buatan sendiri, lezat dan aman. Umumnya saat masak menggunakan kaldu dari tulang ayam atau sapi, bukan kaldu bubuk atau penyedap rasa. Serta tidak membubuhkan terlalu banyak gula atau garam ke masakan. Anak-anak dibiasakan pada rasa alami makanan, keuntungan memasak sendiri adalah bahan makanan lebih terkontrol, sehingga hidangan lebih sehat dan aman. Untuk alasan keamanan pula, makanan di sekolah selalu dimasak pada hari yang sama ketika bahan makanan dibeli. Dan, bebas dari makanan mentah, seperti sushi dan sashimi.

3. Menghindari penyakit degeneratif. Berbagai penyakit gaya hidup, menyerang sejak usia dini. Para ahli kesehatan di Jepang meyakini, jika anak terlalu banyak dan terlalu sering makan sumber lemak hewani (daging sapi, kambing, babi, ayam, dan lain-lain), kadar kolesterol di tubuh meningkat, menambah risiko penebalan pembuluh darah. Meski ikan termasuk hewan, namun kadar kolesterolnya rendah, berkat kandungan DHA (Docosahexaenoic acid) dan EPA (Eicosapentaenoic acid). 

DHA berfungsi melancarkan aliran darah dan meningkatkan aktivitas otak. EPA menetralisir lemak dan melancarkan aliran darah. Itu sebabnya anak-anak di Jepang diwajibkan banyak makan ikan, terutama ikan perairan dalam atau blue fish seperti sardin, makarel, tuna, salmon dan lain-lain. 

Konsumsi garam dan gula juga dibatasi untuk menghindari penyakit tekanan darah tinggi dan diabetes. Sebaliknya, sumber serat seperti rumput laut, jamur, sayuran dan polong-polongan, dipastikan selalu ada dalam menu makan siang.   

4. Tekstur mudah dikunyah. Ini untuk melatih keterampilan mengunyah anak-anak. Mengunyah dengan benar, membantu pertumbuhan dagu dan gigi-geligi, mencegah gigi berlubang, mencegah makan berlebihan dan obesitas. Juga, diyakini dapat menstimulasi dan membantu otak bekerja lebih baik.

5. Menghargai budaya makan tradisional. Bangsa Jepang kaya akan makanan tradisional yang sehat, yang telah ribuan tahun diwariskan dari generasi ke generasi, seperti okara (sejenis polong-polongan), rumput laut jenis konyaku, hijiki,  dan ikan kecil seperti bonito kering. 

6. Menikmati makan siang dengan sopan. Tidak sekadar makan, makan di sekolah juga mengajarkan anak mematuhi tata tertib makan atau table manner, agar tidak mengganggu anak lain

Salah satu cara membuat anak tertarik pada makanan adalah dengan melibatkan mereka dalam proses menyiapkan acara makan tersebut. Itu sebabnya, sekolah di Jepang menugaskan anak-anak bergiliran dibagi menjadi beberapa kelompok menjadi school lunch duty. Ada kelompok yang bertugas menyiapkan dan mengelap meja, menyiapkan piring dan mangkuk, dan kelompok favorit adalah yang  berseragam mirip koki dan bertugas mendistribusikan makanan untuk teman-temannya. Untuk anak saya pengalaman dan kepercayaan ini sungguh meyenangkan :)






sumber


http://www.nier.go.jp/English/EducationInJapan/Education_in_Japan/Education_in_Japan_files/201303SLP.pdf


http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/gizi.kesehatan/balita/6.makan.siang.sehat.ala.jepang/001/001/1666/2

Monday, January 4, 2016

Mengenal Istilah Dosis Lebih Tepat

Sering sekali kita berbicara atau mendengar tentang dosis. Dalam hal ini paling sering yang berkaitan dengan obat. Tetapi terkadang pengertian yang berkembang di masyarakat kurang tepat. Misalnya :
Anggapan bahwa dokter luar negeri kalau memberi obat, dosisnya rendah sehingga aman. Sedangkan dokter Indonesia dianggap sering memberi obat dengan dosis tinggi. Akibatnya tak jarang ada orang Indonesia berdomisili di luar negeri yang meminta ransum obat dari dokter Jepang ketika hendak berkunjung ke Indonesia hanya untuk persiapan kalau nanti sakit di Indonesia, karena kekhawatiran kelebihan dosis jika berobat dengan dokter Indonesia.
Ukuran obat yang kecil dan imut bermakna dosis kecil.
Resep yang diberi dokter spesialis dosisnya lebih tinggi daripada dokter umum.

Benarkah demikian?

Sebenarnya apakah pengertian dosis itu?

Apakah ukuran dan bentuk obat menentukan?

Apakah dokter umum dan spesialis memiliki takaran dosis yang berbeda, lalu bagaimana jika beda negara?

Mari kita cermati bersama-sama, agar pasien dan dokter memiliki pemahaman yang sama mengenai istilah 'dosis' ini.

Definisi dosis menurut kamus besar bahasa Indonesia atau KBBI adalah :

(1) Takaran obat untuk sekali pakai (dimakan, diminum, disuntikkan, dan lain sebagainya) dalam jangka waktu tertentu.

Contohnya, pasien itu pingsan karena menelan pil melebihi dosis yang ditentukan oleh dokter;

(2) Ukuran pengobatan yang harus diberikan untuk jangka waktu tertentu (contoh radiasi atau penyinaran pada daerah atau bagian tubuh tertentu);

(3) Definisi dalam fisika jumlah energi atau tenaga yang diberikan oleh zarah pengion kepada suatu satuan massa bahan yang disinari atau diradiasi pada tempat yang diselidiki atau diminati.

Dosis adalah takaran atau ukuran suatu obat secara individual perkali atau perhari. Dengan demikian, dosis suatu obat yang sejenis haruslah tetap sama, baik dokter umum ataupun dokter spesialis yang mengobati di desa, pelosok Indonesia ataupun megapolitan seperti Tokyo.

Sehingga pernyataan bahwa dokter Indonesia sering memberi 'dosis tinggi' dapat dikatakan kurang tepat. Jika pasien diberikan dosis tinggi atau dalam hal ini dosis berlebih dari seharusnya, maka akan berbahaya bagi pasien dan tentunya dokter pemberi resep pun akan mendapat sanksi kode etik. Hal ini sering didengar dengan istilah over dosis.

Agar lebih jelas mari memahami dengan menggunakan contoh, misalnya paracetamol, salah satu obat yang paling sering dikonsumsi dengan nama dagang P*nadol, D*colgen, S*nmol dll. Dosisnya adalah 10-15mg/kg/kali. Untuk seorang anak dengan berat badan 10 kg, anak tersebut membutuhkan paracetamol 100-150 mg sekali minum agar mendapat efek yang diharapkan misalnya sebagai antipiretik atau penurun demam.

Jika kita menganggap bahwa paracetamol harus diberikan dalam dosis kecil agar aman, misalnya hanya 50 mg, tentunya efek yang diharapkan tidak akan maksimal, bahkan tidak memberikan efek apa- apa. Apalagi jika pada kasus si anak yang sakit tetapi ibunya yang meminum obat, dengan harapan obat tersebut tersalurkan melalui ASI. Begitu juga sebaliknya jika seorang dokter memberi dosis jauh diatas 150 mg, kemungkinan akan memberi efek samping. Yang harus diyakini, seorang dokter tentu tidak akan secara sengaja membahayakan pasiennya.

Lalu bagaimana untuk kasus "beda dokter" atau bahkan "beda negara"?
Jika kita lihat definisi di atas seharusnya dosis paracetamol tetap sama.

Hal yang terkadang tidak diketahui oleh masyarakat umum adalah bahwa setiap obat memiliki batas dosis tersendiri yang setiap dokter dapat memberikan obat dengan jumlah dosis berbeda tetapi masih dalam batas yang ditetapkan. Jumlah dosis ini disesuaikan dengan jenis penyakit atau tingkat keparahannya dan juga kondisi tubuh pasien yang terkadang rentan pada efek samping suatu obat tertentu. Tidak semata-mata karena dokter luar negeri, lalu memberi dosis kecil atau karena dokter spesialis lalu memberi dosis besar.

Kedua, benarkah obat imut-imut berarti dosis kecil? Tidak terlalu memberikan efek, baik efek pengobatan ataupun efek samping? Salah satu obat imut yang pernah penulis lihat adalah kodein, efek yang bisa diharapkan adalah antitusif (menekan batuk). Dibanding obat biasa, kodein ini sediaannya kecil sekali, tetapi meskipun demikian, jika penulis ingin membeli obat ini di apotik tidak mudah dan harus memperlihatkan kartu Identitas sebagai seorang dokter. Mengapa? Karena kodein ini termasuk obat dengan lingkaran merah,artinya sejenis obat keras yang memiliki efek pengobatan yang tinggi meskipun bentuknya mini. Jadi bisa ditarik kesimpulan ukuran obat tidak berimbang dengan dosis atau takaran suatu obat.

Semoga bermanfaat. :)

dimuat di fahima.org
Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/dosis#ixzz2TJlL84T5
Sumber gambar : http://info-kesehatan.net