Saturday, May 20, 2017

Ummi-ku Dokter

dokter Fahri
Percakapan siang kemarin di Poli

Pasien : “dok, saya mulai hari ini kalau kontrol ke dokter saja ya dok” sambil menatap penuh harap.
Saya : “oh boleh bu, tapi saya di divisi alergi cuma 4 bulan, habis itu muter lagi
Pasien : “gapapalah dok, lumayan 4 bulan. Saya mulai sekarang sama dokter ya.”

Pasien tersebut diatas adalah seorang Ibu dengan diagnosis systemic lupus erythematosus, suatu penyakit autoimun yang harus rutin kontrol, mungkin sepanjang hidupnya. Sehingga tentu saja akan mencari dokter yang akan membuatnya nyaman dan betah, asumsi saya karena sesama perempuanlah beliau meminta kontrolnya dengan saya. Alhamdulillah saya ada yang suka :D
Oiya perkenalkan, saya Ibu 2 anak yang saat ini sedang sekolah lagi ambil spesialis, atas izin suami, orang tua, mertua dan keluarga besar.
Sebelumnya sempat berprofesi jadi dokter umum 24 jam, dokter PTT, pedagang online-offline, dan sempat jadi full time mother 5 tahun, makanya sekolahnya telat, hehe
Kita diajarkan Motto hidup : hidup itu adalah untuk memberi manfaat. Jadi mau memilih jadi profesi apapun, usahakan tetap dengan visi tersebut, hiduplah untuk memberi manfaat. Saya selalu berusaha tanam terus dalam-dalam visi ini (tentu harus terus diingatkan, oleh karena itu hadir ngaji rutin itu penting, untuk mengingatkan terus visi hidup ^_^)
Khususnya mengenai pilihan, menjadi peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS), tentu saja hasil konsultasi dengan para sahabat yang sudah duluan sekolah, istikharah hitungan malam, maju, mundur. Awalnya saya ragu karena tahu, betapa akan beratnya menyandang predikat sebagai PPDS, khususnya teman2 saya di bagian Obsgyn, Anak, IPD, Bedah. Mereka dengan menjadi PPDS, maka tak jarang air mata akan tertumpah, lelah tak terkira, kantuk datang tak tertahankan setelah shift jaga malam, emosi yang harus dijaga di Rumah sakit pun di Rumah. Pernah sahabat saya, PPDS anak baru pulang jaga malam, langsung memboyong suami dan dua anaknya ke hotel hanya untuk beberapa jam, karena liistrik dirumah kebagian mati lampu, sedangkan besok pagi harus maju presentasi laporan jaga >_<. Praktis tidak tidur lebih dari 48 jam. Beruntung suaminya mendukung dan sangat memahami :)
Hingga singkat cerita, akhirnya suami dan keluarga besar yang mendorong saya untuk maju. Kata suami saya saat itu : “ambil kesempatan ujian sekarang, lalu buktikan takdir Allah, saya Ridho”. Dan berbekal titah demikianlah, saya mencoba ujian masuk. Dan alhamdulillah diterima, saat pengumuman keluar, saya langsung berdoa “Ya Allah, mohon tuntunlah hamba agar nanti menjadi PPDS yang tetap LURUS’.
Benar saja, jadi Ibu yang kebetulan menjadi PPDS, sungguh tak mudah. Di rumah sakit harus punya bekal sudah baca untuk acara ilmiah pagi, diskusi dengan dosen, lanjut kerja poli bertemu pasien-pasien yang dengan penuh harap penyakitnya tertangani, sore pulang ke rumah dan mengecek PR anak-anak, memastikan ketersediaan makanan sekeluarga, sambil menyiapkan keperluan untuk ke-esokan hari. Terkadang akan dapat jadwal shift jaga malam, tak pulang sampai esok sore-nya lagi. Tentu saja berangkat jaga setelah menyiapkan segala hal, keperluan rumah siap ditinggal 2 hari.
Jadi kalau mau punya waktu belajar atau membuat tugas, otomatis yang harus dikorbankan adalah waktu tidur/istirahat. Teringat kisah ustadzah yoyoh yusro, nambah anak satu itu berarti adalah mengurangi waktu tidur minimal satu jam. Nah kalau menurut saya menjadi emak-emak PPDS ibarat nambah anak 2-3, yang artinya harus mengurangi jatah tidur minimal 2-3 jam perhari. Buka laptop diam-diam ditengah malam-dini hari, agar anak tidak terbangun. Belum lagi beban tugas dari dosen, tekanan senior, ujian ingin “ngerjain” junior, gosip sana sini, pasien yang terkadang nyeleneh, yang dapat membuat goyah si emak PPDS.
Tentu akan banyak yang berkomentar, kalau begitu berat, ya tidak usah jadi PPDS. Komentar ini wajar, karena dasarnya benar wanita umumnya di rumah, mengurus rumah tangga, membina anak-anak. Tetapi tetap saja harus ada wanita diprofesi ini untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, terutama hajat hidup para wanita juga, seperti pasien saya tadi. Dan alhamdulillah masih banyak para sahabat, para wanita perkasa, terus melanjutkan perjuangan menjadi PPDS. 

Wallahu alam niatnya, tentu macam-macam. Tapi jangan khawatir, tidak sedikit yang memilih jalan ini niatnya memang karena cinta dengan ilmu terkait, dan ingin bermanfaat untuk ummat.
Dan jika si emak-emak PPDS ini ikhlas, maka banyak lahan ibadah di profesi ini, Imam syafii pernah berkata ilmu kedokteran adalah ilmu terbaik setelah ilmu Fiqih. Teruslah semangat, jangan lupa amalan yaumiah kita, dan teruslah berdoa “semoga Allah lindungi, dan kita terus dijaga menjadi PPDS yang “LURUS”. 

Yang perlu diingat, ketika kita keluar rumah atas ridho suami dan niat yang lurus, maka bismillah, insyaAllah akan Allah permudah, sekolah lancar, suami dan anak-anak kita titipkan kepada Yang Maha Menjaga. 
Saya juga punya sahabat, lulus PPDS dengan nilai terbaik, anak empat, berprestasi di sekolah dan hafalan-pun banyak. masyaAllah berkah pejuang ilmu:), semoga kami juga bisa demikian


Oiya Setelah membaca tulisan yang sedang hangat, isinya nasihat yang baik tetapi memang dari sudut pandang berbeda tentang profesi ini, saya iseng bertanya ke anak saya 
Saya : “kakak, seneng ga kalau ummi-nya dokter?
Kakak : “seneng”
Saya : “kenapa kak?”
Kakak : “karena kalau aku sama adek sakit, ada yang ngobatin, waktu kemarin aku luka, yang nyuntik dan jahit ummi sendiri, jadi ga takut”
Saya : “alhamdulillah, berarti nanti kakak mau jadi dokter juga?
Kakak : “engga, kakak mau jadi guru agama di SDIT
Saya : “Waah, bagus banget kak cita-citanya, tapi boleh ga kerja sampingannya sebagai dokter anak? Agar nanti cucu cucu ummi, kalau sakit ada yang ngobatin, hehehe
----
#alhamdulillah anak saya ikhlas umminya seorang dokter PPDS, mohon doa sahabat agar cepat lulus dan tetap lurus, aamiin :)
Dan mari kita ambil peran masing2, untuk menebar manfaat tanpa saling menyudutkan :)

No comments:

Post a Comment