Wednesday, March 11, 2015

Strategi Menghilangkan Rokok di Indonesia

Sudah banyak sekali data dan fakta bertebaran menghiasi berbagai media mengenai angka kesakitan dan kematian akibat rokok di Indonesia dan berbagai negara lain. Kita sama-sama sudah dalam posisi menentang rokok. Maka kini mari kita simak bersama berbagai kemungkinan kebijakan pengendalian rokok dimasa depan.
  1. Pencantuman gambar-gambar kanker dan kelainan janin harus dicantumkan pada bungkus rokok dengan segera. Langkah ini sudah dijalankan pemerintah Singapura dan memberi hasil yang memuaskan pada jumlah perokok di negara tersebut. Penggunaaan kalimat nasihat di bungkus rokok saja tidak cukup memberi informasi. Perokok masih bisa merokok tanpa melihat jelas apa dampak, misalnya, 20 tahun kedepan.
  2. Iklan rokok hanya boleh menggunakan pasien-pasien yang sedang kemoterapi karena kanker akibat rokok. Pasien-pasien yang radioterapi atau baru menjalani pembedahan juga bisa dipertimbangkan. Perusahaan pengiklan tidak boleh menggunakan model iklan yang sehat. Kalau perlu, hanya artis sakit karena rokok-lah yang boleh jadi iklan rokok.  Jadi, mengiklankan rokok sebisa mungkin menghindari unsur ‘entertainment’. Dua strategi pertama ini bisa kita kategorikan sebagai ‘tampilkan apa adanya’.
  3. Warga negara yang ingin membeli rokok terlebih dahulu harus menandatangani surat yang disebut informed consent. Surat ini seperti halnya surat yang ditanda-tangani pasien sebelum menjalani pengobatan atau tidakakan pembedahan di rumah sakit.Informed consent pada warga yang ingin merokok intinya berbunyi pernyataan:
3.1. ‘Saya sudah memahami semua akibat yang ditimbulkan oleh rokok, antara lain pemendekkan usia, penyakit jantung, kanker, dan kelainan janin pada orang-orang terdekat saya
3.2. ‘Saya menjamin ketersediaan sandang, pangan papan keluarga saya tidak terpengaruhi oleh pembelian rokok. Terutama saya menjamin susu dan pendidikan bagi anak-anak saya.”
3.3. ‘Saya siap menghadapi semua penyakit dan kerugian material dan immaterial akibat rokok’
3.4. ‘Saya tidak akan menuntut siapapun atas penyakit yang akan saya derita akibat rokok’
3.5. ‘Saya tidak akan menggunakan jaminan pemeliharaan kesehatan yang disediakan pemerintah untuk warga miskin’
Penggunaan informed consent ini kita sebut sebagai tanggung jawab.

4. Penjual rokok harus mendapat penyuluhan mengenai kemungkinan usaha dagang yang lainnya.  Termasuk bekerja sama dengan pihak perbankan untuk kemudahan pemberian kredit bagi pedagang rokok yang ingin beralih ke komoditas perdagangan lainnya.

5. Pemerintah daerah tentunya sudah mengetahui jumlah petani tembakau di daerahnya. Yang bisa dilakukan dinas pertanian setempat misalnya secara rutin mendatangi petani-petani tembakau agar mengajak dan menyuluh mereka sehingga bisa memahami bertani komoditas lainnya. Jika sudah ada contoh mantan petani tembakau yang sukses beralih pada komoditas pertanian lain akan makin meningkatkan kesadaran dan semangat para petani tembakau lainnya untuk segera meninggalkan bertani tembakau. Sebetulnya, selama ini kita lihat petani-petani tembakau itu selalu dalam keadaan miskin. Mungkin karena tidak ada berkahnya dengan menanam tembakau. Saatnya mereka memberbaiki kesejahteraan hidup dengan menanam komoditas yang tinggi protein dan tinggi nutrisinya.

6. Pendekatan dengan perusahaan-perusahaan kopi, coklat, teh, kelapa sawit, industri makanan, bahkan juga industri bumbu. Apa yang perlu dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan ini? Adalah penting untuk mempersiapkan industri-industri ini untuk bisa memberi kesempatan bekerja bagi buruh-buruh pabrik rokok yang ingin bekerja dengan pabrik non-rokok ini. Industri rokok selama ini kita dengar sering berdalih bahwa penutupan pabrik rokok akan berimbas pada hilangnya nafkah pada ribuan buruh-buruh pabrik rokok. Dalih industri rokok ini selain mengandung banyak unsur manipulasinya, juga mudah sekali dijawab. Salah satunya dengan penerimaan, misalnya, industri makanan terhadap buruh pabrik rokok. Langkah ini baiknya dijalankan 5 tahun sebelum pemerintah bisa menutup sama sekali pabrik rokok. Pentahapan itu penting. Inilah kunci sukses langkah nomor 4 sampai nomor 6, yaitu ‘insentif ekonomi’.

7. Penambahan elemen ‘tidak merokok’ di iklan pembukaan lowongan pekerjaan. Diharapkan syarat ‘tidak merokok’ bisa menjadi penambah semangat bagi pencari kerja yang sedang ingin berhenti merokok. Lebih lanjut, dalam mempromosikan karyawan, kriteria ‘tidak merokok’ dapat digunakan untuk proses penilaian. Perusahaan diharapkan dapat memberi penghargaan kecil-kecilan bagi staf yang tidak merokok. Ini nantinya bisa membentuk mind-set bahwa yang namanya tidak merokok itu adalah prestasi. Nomor 7 ini bisa kita sebut sebagai ‘insentif karir’.

8. Alokasi cukai tembakau untuk dana iklan layanan kesehatan anti rokok. Ini penting karena kita berhadapan dengan iklan rokok yang didukung oleh modal-modal besar. Makin besar penjualan rokok harus diiringi oleh peningkatan iklan layanan masyarakat bertajuk antirokok. Kita bisa membentuk ‘rem’ yang menahan laju penggunaan rokok. Kita bisa kategorikan ini sebagai ‘insentif iklan’.

Kita mungkin tabu dengan konsep bahwa perokok itu adalah warga negara yang ‘unik’. Apa yang ‘unik’? Perokok itu unik karena ketika sehat, secara sadar dia menjemput semua risiko buruk bagi dirinya dan orang-orang terdekatnya. Lalu ketika risiko itu benar-benar terjadi, dipastikan menyesal telah merokok. Nyaris mustahil kita temui penderita kanker paru yang mengatakan, “saya tidak menyesal karena telah merokok.”. Jadi hampir 100 persen pasien yang pernah merokok pasti menyesal pernah merokok.
Karena keunikannya itu, kita harus mulai memperkenalkan konsep warga negara yang ‘unik’. Disebabkan berstatus penduduk ‘unik’, patutlah dipertimbangkan hak yang ‘unik’ pula, seperti contoh-contoh yang telah disebutkan diatas, antara lain, pengurangan kesempatan bekerja dan pengurangan kesempatan mendapat jaminan kesehatan pemerintah untuk warga miskin.
Kita jangan membatasi kreativitas berpikir kita mengenai kemungkinan-kemungkinan strategi menghilangkan tembakau dari bumi Nusantara. Agar suatu saat kita bisa memiliki ‘Indonesia Bebas dari Rokok’. Segala kemungkinan itu harus dipikirkan, didiskusikan, untuk kemudian dicari jalan penerapan di lapangan. Persis seperti yang dilakukan industri rokok untuk meningkatkan penjualan rokok di Indonesia.
Maka kini kita memahami beberapa kunci baru eliminasi rokok di Indonesia: ‘tampilkan apa adanya’, tanggung jawab, insentif ekonomi, insentif karir dan insentif iklan.

Fariz Nurwidya
(Majalah Dokter Kita, edisi Januari 2012)

No comments:

Post a Comment